Benarkah Indonesia Tidak Butuh Main Battle Tank (MBT) ?
Leopard 2A6 Sebagaimana diberitakan di berbagai media massa nasional, baru-baru ini Komisi I DPR menolak rencana Pemerintah untuk me...
https://pojokmiliter.blogspot.com/2012/01/benarkah-indonesia-tidak-butuh-main.html
Leopard 2A6 |
Sebagaimana diberitakan di berbagai media massa nasional, baru-baru ini Komisi I DPR menolak rencana Pemerintah untuk membeli 100 unit MBT (Main Battle Tank) jenis Leopard 2A6 bekas pakai Belanda. Ada dua alasan yang paling mengemuka di balik penolakan itu, yakni kondisi geografis dan perencanaan pengadaan.
Mereka yang Menolak
Sejenak penulis teringat kisruh pengadaan pesawat latih serang ringan EMB-314 Super Tucano medio 2010 lalu. Pengadaan pesawat ini walaupun akhirnya kemudian dapat digolkan, namun pada awalnya sempat mendapat penentangan keras dari DPR. Ada yang memprotes sambil membandingkannya dengan jet fighter. Ada juga yang menolak dengan alasan perbedaan spesifikasi dengan OV-10 Bronco yang akan digantikannya. Setelah melalui proses yang cukup alot dan penjelasan yang lebih komprehensif dari pihak user sendiri, yakni TNI AU, akhirnya DPR dapat memahami tujuan pengadaan itu dan mengamininya.
Kini, kejadian serupa terulang kembali. Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Tubagus Hasanuddin di Jakarta, Kamis (12/1), sebagaimana dikutip Kompas (Sabtu, 14/1 bertajuk “Pembelian Tank Leopard Ditolak oleh DPR”) menjelaskan, mayoritas fraksi di Komisi I DPR menolak rencana pembelian tank Leopard itu. Tank Leopard dianggap tidak cocok dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
Menurut beliau, tank Leopard cocok untuk negara kontinental dengan daratan yang luas, seperti wilayah gurun pasir. Tank itu memiliki kemampuan tembak hingga 6 kilometer. Yang cocok untuk wilayah Indonesia adalah jenis tank dengan kemampuan menembak lurus dengan jarak 1-2 kilometer.
Turut menyampaikan penolakannya adalah anggota Komisi I dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Teguh Juwarno, yang berpendapat bahwa tank dengan bobot 62 ton itu juga tidak akan leluasa bermanuver. Apalagi, jembatan di Indonesia umumnya hanya bisa menampung beban sekitar 40 ton.
Senada dengan penolakan Komisi I DPR, kembali sebagaimana dikutip oleh Kompas (Selasa, 17/1 dengan judul “Pembelian Tank Bekas Leopard Tidak Rasional”), peneliti kajian keamanan IDSPS Wendy Prajuli berkata, "Karena kondisi geografisnya, Malaysia memang membutuhkan (tank) itu. Sebaliknya, bagi negara kepulauan seperti Indonesia, tank tidak punya kemampuan apa-apa untuk mengancam."
Kondisi Geografis Indonesia dan MBT: Cocok atau Tidak Cocok?
Aneh. Kalau dengan alasan geografis dikatakan bahwa Malaysia membutuhkan MBT, maka seharusnya secara logika, Indonesia pun juga. Apa bedanya Semenanjung itu dengan Sumatera? Kontur tanahnya mirip. Malah secara luas daratan, Sumatera lebih luas ketimbang Semenanjung. Apatah lagi luas daratan Kalimantan dan sebagainya.
Begitulah, selama ini, kita terperangkap dalam pola pikir (yang entah pertama kali disebarkan oleh siapa dan sejak kapan) bahwa Indonesia tak butuh tank tempur berat alias MBT (Main Battle Tank), dengan alasan yang sering dikemukakan adalah bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan, banyak hutannya, jalanannya sedikit, konturnya bergunung-gunung, banyak rawa, serta aneka fitur geografis lainnya yang dipercaya tidak cocok untuk habitat MBT.
Perlu diketahui bersama, Inggris yang notabene negara kepulauan dengan kontur bergunung-gunung malah termasuk salah satu negara produsen sekaligus pengguna MBT terbanyak di dunia. Jepang juga demikian, walaupun negara kepulauan, mereka rajin mengembangkan MBT sendiri walaupun luas daratan mereka jauh lebih kecil daripada Indonesia.
Yang lucu lagi, Singapura yang hanya negara pulau (bukan kepulauan) sudah sejak lama memiliki sekaligus membanggakan MBTnya. Setelah MBT jenis Challenger, mereka sekarang memakai Leopard ex-Jerman dengan berbagai pemutakhiran.
Padahal apa bedanya kontur tanah Singapura dengan Batam misalnya? Singapura itu secara geografis sama saja dengan pulau-pulau di Kepri.
Indonesia jalanannya sedikit? Betul, di peta tahun 1940an, jalan kita masih sedikit.
Banyak rawa? Ya betul, tapi di daerah urban, lebih luas mana antara daerah rawa dengan daerah yang bukan rawa? Daerah yang rawa itupun kebanyakannya sudah ditimbun dan diperkeras sehingga sudah bukan rawa lagi namanya sekaligus karakteristiknya.
MBT sekelas Leopard yang beratnya 62 ton ini tidak cocok untuk melalui jalan dan jembatan Indonesia? Tronton yang beratnya sampai 80 ton saja bisa dan diizinkan melewati jalan dan jembatan kita, kenapa MBT tidak? Kalau jalannya rusak, berarti yang bermasalah adalah kualitas jalannya. Jangan kita yang bersabar-sabar untuk tidak memiliki MBT hanya karena takut jalan rusak.
Bagaimanapun, deterrence dari sebuah MBT tidak bisa tergantikan oleh tank ringan jenis apapun dan kelas apapun. Tank berat T-90 tidak bisa digantikan dengan tank ringan AMX-13, sehebat apapun AMX-13 misalnya.
Jujur, penulis malu setiap membuka Military Balance, hanya Indonesia yang belum memiliki MBT di kalangan negara-negara utama ASEAN. Dalam laporan Military Balance, daftar arsenal darat kita langsung loncat ke LT (light tank), tanpa ada kolom MBT nya. Ini pasti jadi tertawaan para pembanding kekuatan militer kawasan.
Nilai Strategis MBT
Lebih jauh, dalam perspektif perang, MBT memiliki nilai penggentar strategis (strategic deterrence) tersendiri bagi matra darat terkait beberapa aspek:
1) Ketebalan armor / lapis baja yang sangat masif yang tak dapat ditandingi oleh kelas-kelas kendaraan lapis baja lainnya (tank ringan (light tank), AIFV, APC, dll).
Ketebalan armor ini memberikan perlindungan yang optimal terhadap awak kavaleri, dan memberikan rasa aman sekaligus percaya diri yang lebih di dalam pertempuran. Tank ringan sekelas AMX-13 maupun Scorpion yang dimiliki TNI AD saat ini rata-rata hanya memiliki ketebalan armor 40-60 mm, sedangkan MBT bisa mencapai 100-500mm!
2) Daya gempur / kesenjataan. Ini sudah jelas. Dimensinya yang besar memungkinkan MBT sanggup mengusung persenjataan yang lebih destruktif dengan meriam kaliber yang lebih besar ketimbang kendaraan lapis baja lainnya. Ini akan memberikan daya daya tangkal dan daya gentar tersendiri terhadap kandidat lawan.
3) Teknologi / pengalaman. Dengan memiliki MBT, kita setidaknya dapat memahami psikologi para pengawak MBT (sama seperti pengemudi mobil: kalau kita belum pernah mengemudikan mobil, niscaya susah memahami psikologi pengemudinya). Ini penting untuk dapat menyusun taktik menghadapi MBT lawan / taktik anti-MBT yang lebih membumi. Kita lihat, negara-negara tetangga yang secara lingkungan strategis merupakan kandidat lawan kita yang paling potensial sudah memiliki MBT semua. Ironis kalau secara historis TNI tidak pernah mengoperasikan MBT.
Oleh: Khairil Azmi, B.Eng., M.IScT., Direktur Eksekutif TANDEF
Apa pendapat anda tentang artikel diatas?